Sudah sekitar 10 menit aku bersama perempuan ini. Aku bingung harus bilang apa. Akupun bingung kenapa aku mau diajak perempuan ini untuk duduk bersama disini? Di mobil Honda City hitam miliknya. Aku terus memperhatikannya lekat - lekat. Terus berkutat dengan pertanyaan siapa-dia-yang-telah-mengajakku-dan-aku-mau-diajaknya. Sejenak kusadari dia telah tersenyum sedari tadi karena menyadari bahwa aku telah memperhatikannya.
"ada apa..?" tanyanya mengawali.
"hmm..ngga.." jawabku pelan. aku mau dibawa kemana tante? gumamku lemah.
"sebelumnya tante boleh nanya?" lanjutnya, seakan dia mendengar pertanyaan ku.
"silahkan.."
"kenapa kamu sendirian di halte?" tanyanya seraya memalingkan pendangannya ke jalanan.
"..." aku terdiam.
"kamu keliatan kotor, apa kamu belum mandi?" lanjutnya.
"..." aku masih diam, menundukkan kepalaku karena enggan menjawab pertanyaan dari wanita karier yang berada di sebelahku.
"kamu punya masalah dengan orang tua mu?" kembali ia melontarkan pertanyaan. Aku tidak menjawab tetapi menoleh. Dan mengalihkan pandanganku pada jalanan yang macet. Kubaca plang penunjuk arah jalan. Ini daerah jatipadang rupanya. Gumamku dalam hati.
"hai anak manis, ngga mau jawab pertanyaan tante ya? tante psikolog lho.." ia menambahkan. Sebenarnya aku tak peduli apa pekerjaannya. Aku hanya tak ingin menjawab pertanyaannya yang sedang menjadi masalahku sekarang. Aku hanya menatapnya ngga-usah-ikut-campur-urusanku dengan mata besarku.
"oke, tante ngerti. Tante boleh tau nama kamu cantik?" untuk kesekian kalinya ia melontarkan pertanyaan yang seakan ia tau apa yang ada dalam pikiranku.
"Difa. Namaku Shadeefa" jawabku singkat tanpa menoleh.
"Nama tante Vidia. Kantor tante berada persis di belakang halte tempat kamu duduk tadi" lanjutnya ramah. Mungkin ia tau apa isi hatiku sekarang..
Setengah jam sudah aku berdiam sekarang. Mobil ini masih melaju kencang ke suatu tempat yang tidak aku tau. Pendingin mobil menerpa kaos putih lusuhku yang penih keringat dan membuat tubuhku menggigil. Aku mual. Kepalaku pusing sekali. Aku tau perempuan ini kembali memperlihatkan aku dari tadi. Aku sadar dia melirikku sembari memperhatikan jalanan. Tak lama kemudian dia menepikan mobilnya ke dekat warung kecil pinggir jalan. Ia membuka seatbelt dengan cepat, sambil menoleh kebelakang, ia membuka pintu mobil secara perlahan. Setelah sebelumnya ia membuka kaca pintu jok mobil yang aku duduki. Tak lama berselang ia kembali. Dengan membawa sebotol air mineral, segenggam permen dan minyak angin di tangannya.
"ini buat kamu.." seraya menyodorkan semua itu di hadapanku dengan meletakkannya di atas dasbor mobilnya.
"usapkan minyak angin ke perut kamu, biar mualnya mereda" katanya Sambil memasang seatbeltnya lagi. Aku mengabulkan perintahnya.
****
"Kita nyari baju dulu yuk, baju kamu keliatan kumel banget soalnya. Lepek juga karena keringet" ucapnya padaku setelah menepikan mobilnya lagi di sebuah mall yang cukup besar. Dan kuakui aku belum pernah kesini. Perempuan itu berjalan dengan merangkul pundakku menuju pusat perbelanjaan baju. Sekilas aku melirik bandrol harga yang mahal dan tak-pernah-kupikir-bapak-mau-membelikan-itu-padaku.
Dengan langkah cepat perempuan ini mengambil satu dress casual, 3 potong kaos yang berbeda, 1 jeans, dan 2 celana pendek. Terakhir dia memaksaku duduk dan memilihkan balerina shoes ke kakiku. Aku tak tau kenapa rasanya hangat. Saat dia memegang kakiku untuk mencoba spatu, saat dia tersenyum untuk sekedar bilang "kamu suka?". Ibu nggak pernah bilang itu padaku. Baginya Alia adalah prioritas utamanya. Segalanya untuk Alia. Dan jawabannyapun sama ketika aku bertanya mengapa Alia selalu yang jadi nomor satu. Ibu hanya menjawab karena Alia tak mendapatkan ini semua ketika ia kecil. Tetesan air hangat nampaknya segera mengalir di pipiku sebelum perepuan ini menyadarinya. Aku segera menyerka air mataku, .engalihkan pandanganku pada perempuan ini. Hidungnya yang merah nampaknya tak bisa menyembunyikan ini semua. Jari-jari lembutnya menyentuh dagu ku yang kemudian menatap ku dengan senyum kenapa-kamu-nangis-sayang?. Ingin rasanya aku menangis melihat semua yang dia lakukan padaku padahal kita belum sampai 6jam bersama. Ia kembali melempar senyum manisnya padaku. Sesegaera mungkin ia bangkit dan meletakkan semua barang yang ia belikan untukku di meja yang bertuliskan kassa 3, mengambil secarik kertas yang pegawai di meja itu berikan dan menuntunku ke meja yang satunya lagi, meja yang lebih besar dan bertuliskan kasier. Entah apa namanya aku, mungkin norak.
Tentengan ini membuat tubuhku tak seimbang dan hampir saja jatuh saat berada di tangga berjalan itu. Dengan sigap perempuan itu membantuku membawa plastik yang mengembung ini. Ia memegang tanganku, kembali melempar senyum biar-tante-yang-pegang. Mataku tak berkedip. Kembali aku ingat ibu. Mungkin kalo sama ibu sekarang, aku yang harus membawa beban ini sekarang. Tapi perempuan itu tak membiarkan aku berdiam dan mungkin akan mengeluarkan air mata lagi, ia langsung menggandeng tanganku dan menuju toilet.
"kamu sekarang ganti baju ya, habis itu kita makan. Tante tau kamu laper.." ucapnya memberikan bungkusan berisi baju tersebut. Tak perlu memakan waktu lama, aku keluar dengan dress dan balerina shoes yang pas sekali dengan kakiku. Perempuan itu tersenyum memperhatikanku, tangannya merogoh tasnya untuk megambil sisir. Di depan kaca ia menyisiri rambut lurus berponi sebahuku. kemudian beberapa kali ia menyemprotkan parfum mahal miliknya di beberapa bagian tubuhku. Kembali aku ingat ibu. Dari kecil ibu tak pernah melakukan ini padaku, semua kulakukan sendiri. Air mata di pelupuk mataku ia hapus dengan tissuenya. Ia menatapku lekat-lekat seakan berkata kamu keliatan jelek kalo nangis.
****
Ia kembali mengendarai mobilnya dan sampailah ke sebuah komplek perumahan dengan barisan rumah - rumah besar. Ia menghentikan mobilnya ke sebuah rumah berlantai dua dengan cet biru dan balkon yang berada di setiap jendela besar dihiasi tirai hijau. Seorang perempuan membantuku membawakan plastik-plastik belanjaan ini. Petang yang merubah birunya langit mebuat lampu-lampu disetiap ruangan di rumah ini dinyalakan. Aku mengikuti perempuan ini berjalan masuk yang kupikir adalah rumahnya. Aku melangkah masuk, seraya berdecak kagum. Kulihat sekeliling, beberapa foto keluarga terpampang di dinding ruang tamu. Dalam foto itu diantaranya perempuan yang bersamaku hari ini.
"Difa, ikut tante.." suara itu membuyarkan pandangan dan perhatianku pada sebuah figura foto di meja sudut ruangan. Foto dua anak lelaki yang mungkin anaknya.
"iya tante.." jawabku menurut. Aku membuntutinya, menaiki tangga menuju satu ruangan yang cukup besar dan berisi fasilitas yang cukup...mewah.
"ini jadi kamar kamu sekarang. kamu istirahat ya, mandi, baju udah di siapin. jam delapan nati turun ke bawah untuk makan malam bersama.." pesannya setelah membukakan pintu ruangan itu. Aku diam. Perempuan itu meninggalkanku. Aku mencoba mengingat apa yang perempuan itu katakan barusan padaku. Aku mencoba melangkahkan kaki setelah sebelumnya melihat pintu kamar di sebelah ruangan yang kini aku tempati terbuka. Sepintas aku lihat sebuah nama tertulis di depan pintu kamar itu, tapi tak kubaca. Aku meneruskan langkahku ke ruangan ini, melompat ke kasur ber-sprei merah muda. Ku rasakan lebut nan wangi bantalnya, empuk kasurnya. Entah mengapa aku merasa senyaman ini untuk rebahan di kasur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar