Kamis, 14 April 2011

aku dan dia - part 1

Kali ini ku pertegas apa yang terjadi. Apa yang baru saja ku ucap padanya. Ya, aku tau. Aku kini bukan pacarnya lagi. Sekarang aku hanya temannya, bukan siapa – siapa nya. Pipiku mulai dibasahi air mata. Dan tangisku meledak ketika aku menutup telponnya. Aku menangis sejadi – jadinya. Aku masih belum percaya aku telah mengatakan itu padanya. Begitu jahatnya aku, begitu teganya aku. Dia tak pernah menyakitiku, tak pernah memperlihatkan amarahnya padaku. Yang ku tau, dia sangat menyayangiku. Tak pernah sekalipun ia membentakku apapun itu alasannya. Begitu juga aku, sangat menyayangi dia. dia begitu dewasa, begitu sederhana, begitu…sempurna di mata ku. Dia bukanlah orang yang punya banyak uang. Bahkan aku pikir tak ada satupun dari dirinya yang bisa ku banggakan. Tetapi entah mengapa aku…aku… menyayangi dia. 14 bulan telah aku lewati bersama dia. Bermacam prahara telah kita tempuh, berbagai masalah telah kita selesaikan. Tentunya, tanpa ada emosi ataupun amarah.
Sudah dua jam aku dikamar. Dan selama itu aku mengunci diriku. Mataku seperti kebanyakan orang Chinese, sipit. Tepatnya bengkak dan sembab. Hidungku bak badut, merah warnanya. Ingin sekali aku menelpon dia kembali, meminta maaf dan menarik ucapanku sebelumnya. Hatiku penuh dengan rasa penyesalan kini, sakiiiiitt sekali. Andai ia tau aku tak pernah bermaksut dan berbicara demikian kepadanya. Kepalaku penuh dengan namanya, penuh dengan kenangan – kenangan bersama dia. rasanya ingin meledak karena tak lagi kuat untuk mengingat. Ku hentakkan kepalaku ke dinding kamarku. Semakin lama semakin kuat. Aku tak mampu menahan padih ini. Aku tak mampu lagi menangis, semakin lama eranganku semakin keras. Aku tak bisa menahan sakit lagi di kepalaku.tak sanggup, tak mampu lagi..

*flash back
“..menang apa? Pialanya banyak amat?” Tanya seoarang laki – laki usia sekitar 16 tahun itu kepadaku. Aku sedang menunggu jemputan ayahku. Hari ini ada lomba fashion muslim, dan aku menjadi runner-upnya. Sebenarnya aku ingin sekali mengacuhkannya, tapi aku tak ingin teman – temannya mengaggap buruk aku.
“nih baca aja..” jawabku tersenyum, seraya memperlihatkan pialaku padanya, agar dia membacanya.
“oh.. hmm boleh minya nomernya gak?” lajutnya tanpa ragu. Aku enggan untuk menjawabnya. Aku pikir dia lancang. Untuk apa dia minta nomor handphone ku?
“gimana kalo lo duluan aja? Nanti gua sms lo” jawabku tetap tersenyum.
“oke deh..”
“berapa nomer lo?”
“kosong lapan Sembilan lapan blablabla…” ku tunjukkan padanya layar handphoneku dengan nomer hendphonenya yang tertera di screen hp slideku.
“yap bener.. oh iya, duluan ya..” ujarnya setelah mobil yang menjemputnya datang. Ternyata dia paserta juga? Ujarku dalam hati.
8 Januari 2010
Sudah hampir sebulan aku mengenalnya. Aku rasa aku semakin dekat. Ya, dekat. Tepatnya jam setengah delapan malam, dia menelponku. Dengan logat betawinya dia mulai membicaraknnya. Awalnya hanya candaan, tapi ia benar – benar menyatakan perasaannya.
Ku tutup telponnya, hari ini aku dan dia telah berpacaran. Ya berpacaran! Hahahaha. Ingin rasanya aku tertawa. Dia seorang yang berumur 18 thn berpacaran denganku yang masih 14 tahun? Hahaha.
5 bulan telah aku lalui dengannya. Dia anak yang manis, hehe. Dan aku.. semakin menyayanginya. 7, 8, 9 bulan. Waktu berlalu begitu cepat, aku rasa. Tetapi berbagai masalah mulai muncul. Sekuruh keluargaku telah mengetahuinya. Mungkin jika memujinya aku akan suka, tapi yang mereka bilang hanya keburukan dan kekurangan dia, pacarku. Aku memang hanya diam saat mereka mulai menghinanya, tapi batinku..terasa sakit sekali. Aku tak mampu melakukan apa – apa. Tak sanggup melawan semua yang mereka bilang tentang dirinya. Semakin lama, semakin jauh mereka bicara. Tak ayal ibu ku semakin tidak menyukainya. Sedih rasanya..
“mungkin kamu bisa kasih saran ke dia untuk kuliah..” ucap ibuku dengan tatapan ke tv.
“iya, aku juga udah pernah ngomong kok. Katanya sih tahun ini” jawabku sambil menundukkan kepala. Sebenarnya aku telah jenuh dengan saran ibuku itu, tapi apa boleh buat. Setidaknya aku mengiyakannya.
“sebenenya sih terserah dia mau kuliah apa ngga, tapi apa kamu ngga tau, untuk bergaul aja malu kalo bertemen sama anak yang ngga kuliah..” lanjut ibuku lagi.
“iya, aku juga ngga pernah maksa dia kok. Itu kembali ke dia lagi, mau lanjutin sekolah apa ngga” jawabku. Dan di balas sikap dingin ibuku. Aku? Hanya bisa diam juga tentunya. Setelah bicara dengan ibuku, aku kembali berkutat dengan handphone slide ku. Berulang kali aku memainkan slidenya. Membuka-menutup-membuka-menutup. Sebenarnya aku menunggu telfon dari dia. aku ingin membujuknya untuk kuliah lagi. Tapi.. dia tak juga menelfonku.
Oke ini kesekian kalinya aku membicarakan universitas

2 komentar: